Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com- Presiden Jokowi memberi ucapan selamat hari perayaan Jumat Agung kepada seluruh umat Kristiani di Indonesia. Ucapan Pr...
-
Matakatolik.com -Paus Fransiskus dijadwalkan akan memimpin Misa di Istora Gelora Bung Karno (GBK) pada 2 September 2020 mendatang. Pemim...
-
Matakatolik.com- Saudara sekalian yang terkasih, selamat merayakan tri hari suci paskah. Tri hari suci: Kamis Putih, Jumat Agung dan Sa...
-
Matakatolik.com -Yohanes Bayu Samudro dilantik menjadi Dirjen Bimas Katolik oleh Menteri Agama Fachrul Razi di Jakarta, Senin 10 Agustus 20...
-
Viktus Murin Matakatolik.com -Tokoh Kristiani Tahun 2018 Pilihan Majalah Narwastu, Viktus Murin mengecam keras 'aksi paksa mengecap...
-
Matakatolik.com -Kasih harus menjadi pedoman dalam membangun Reksa Pastoral di Keuskupan Ruteng Manggarai Flores NTT. Hal ini disampaikan...
-
Matakatolik.Com – Cintaku kepada Katolik memuncak dalam misa pernikahan. “Pada saat itu, saya benar-benar jatuh cinta dengan Katolik,”...
-
Matakatolik.com -Umat katolik akan merayakan Hari Rabu Abu, 6 Maret 2019. Perayaan Rabu Abu merupakan rangkaian dan proses menuju hari ra...

Setara Institute: Hentikan Eksklusi atas Minoritas
Matakatolik.com-Setera Institute menyerukan agar menghentikan eksklusi terhadap kaum minoritas di seluruh Tanah Air. Seruan ini berkaitan dengan adanya penolakan terhadap keluarga Slamet Jumiarto di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Slamet Jumiarto sempat ditolak oleh perangkat Rukun Tetangga (RT) 8 dan warga Dusun Karet, Desa Pleret, Kecamatan Pleret Kabupaten Bantul karena yang bersangkutan non-Muslim.
Namun akhirnya Slamet Jumiarto dan keluarga diperbolehkan tinggal di dusun tersebut.
Direktur Riset Setara Institute, Halili, mengatakan aturan yang memuat eksklusi sosial atas non-muslim dari dusun tersebut, yaitu Surat Keputusan Nomor 03/POKGIAT/Krt/Plt/X/2015 tentang Persyaratan Pendatang Baru di Dusun Karet, akhirnya dicabut.
"Meskipun sebenarnya secara substantif SK tersebut harus batal demi hukum, karena muatannya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sesuai dengan asas hukum lex superior derogat legi inferiori," kata Halili.
Hukum yang lebih tinggi mengalahkan hukum yang lebih rendah.
Tentu ada proses yang rumit sebelum keputusan akhir diambil secara relatif cepat.
Dalam konteks itu, SETARA Institute memberikan apresiasi setinggi-tingginya kepada Bupati Bantul Suharsono yang langsung mengecam dan meminta aturan diskriminatif di Dusun Karet tersebut dicabut.
Menurut Setara Institute, standing position Bupati Bantul ini bukan sikap pertama yang menunjukkan kuatnya perspektif toleransi. Sebelumnya sikap dengan nada yang sama juga ditunjukkan dalam kasus penolakan Camat Pajangan oleh warga karena yang bersangkutan non-Muslim.
Juga dalam kasus perusakan persiapan sedekah laut oleh kelompok intoleran.
"Setara Institute juga menjurakan tabik kepada Sultan Hamengkubuwono X selaku Gubernur DIY, yang melalui Sekda DIY menyampaikan sikap toleran yang sama dan menyatakan bahwa aturan tersebut mesti dibatalkan. Juga kepada DPRD DIY dan lebih-lebih elemen masyarakat sipil DIY atas inisiatif yang baik untuk menghadirkan keadilan bagi korban," ujar Halili.
Atas situasi tersebut, SETARA Institute memberikan pernyataan sebagai berikut.
Pertama, aturan yang diskriminatif di tingkat lokal bukanlah fenomena tunggal di Pleret.
Begitu banyak kebijakan negara yang diskriminatif mulai dari tingkat provinsi, kabupaten/kota, hingga tingkat RT.
Ketentuan-ketentuan demikian nyata-nyata mendorong eksklusi sosial, melegalisasi intoleransi, melanggar hak dan mengakibatkan luka moral (moral injury) atas minoritas, khususnya minoritas keagamaan.
SETARA Institute mendesak pemerintah agar menghentikan eksklusi terhadap minoritas, dengan melakukan tindakan yang progresif untuk mengatasi regulasi lokal yang diskriminatif.
Kedua, belajar dari kasus Pleret Bantul, pemerintah juga harus memberikan perhatian terhadap pemukiman-pemukiman eksklusif yang menciptakan segregasi sosial berdasarkan agama seperti di Dusun Karet.
Dusun Karet bukan gejala unik. Dalam perkembangan kontemporer, banyak sekali pemukinan yang eksklusif dalam bentuk perumahan-perumahan berdasarkan agama tertentu.
Di dalam iklim kemerdekaan, perumahan eksklusif berdasarkan agama tertentu merupakan kemunduran peradaban yang memuat kontra narasi atas kemajemukan.
Fenomena ini akan menutup ruang perjumpaan antar identitas yang berbeda dan menebalkan kekhawatiran, kecurigaan, ketakutan dan keterancaman dalam melihat identitas yang berbeda.
Pemerintah harus segera mengikis terjadinya segregasi sosial semacam itu dengan menolak perizinan perumahan yang eksklusif berdasarkan identitas agama sebab berpotensi merusak kebinekaan Indonesia.
Matakatolik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar