Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com -Sejumlah tokoh nasional yang menggeluti bidang agama dan perdamaian hadiri acara Forum Titik Temu, di Ritz Carlton Hotel...
-
Matakatolik.com -Untuk Abdul Somad: Saya Tak Butuh Ucapan Selamatmu, Dan Jangan Urusi Iman Agamaku Saya tak pernah mengurusi keyakinan...
-
M ATAKATOLIK, Jakarta - Yohanes Handojo Budhisedjati ditunjuk sebagai Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia Emas (FORMAS). Handojo diper...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Paus Fransiskus, yang memiliki nama lahir Jorge Mario Bergoglio adalah pemimpin Gereja Katolik Roma saat ini. D...
-
Jakarta, MATAKATOLIK.COM - Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia dikabarkan akan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dala...
-
Matakatolik.Com - Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memulai penataan ulang ( refarming ) Pita Frekuensi Radio 2,3 GHz di 9 klast...
-
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Ormas Katolik Vox Point Indonesia ikut mendukung re...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Kepolisian Republik Indonesia(Polri) akan menggerakkan 4.520 personel keamanan, guna untuk mengamankan, pemimpin...
Solusi Untuk Anda!
SETARA : Pemerintah Harus Melindungi Minoritas Keagamaan di Yogyakarta
Keterangan Foto : Tampak depan gedung Gereja Katolik Santo Paulus Pringgolayan, Bantul, Yogyakarta. Foto dari website gerejapringgolayan.com
Matakatolik.com - Setara Institute meminta pemerintah untuk melindungi warga minoritas di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Permintaan tersebut setelah beredarnya berita pembatalan acara bakti sosial yang diselenggarakan Gereja Katolik St. Paulus Pringgolayan, Banguntapan, Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada Senin (29/1) oleh 50-an orang laskar Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI), dan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Mereka menuding acara bakti sosial tersebut sebagai agenda kristenisasi.
Peneliti Setara Institute, Halili, dalam pernyataan tertulisnya kepada Matakatolik.com, Kamis (1/2/2018), mengatakan sejatinya acara tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara dalam rangka memperingati catur windu (32 tahun) Gereja Katolik St. Paulus dan peresmian paroki dari paroki administratif menjadi paroki mandiri. Akibatnya, kata Halili, panitia membatalkan kegiatan tersebut.
Lebih lanjut Halili mengatakan, kita harus terus menyatakan keprihatinan atas terus berulangnya diskriminasi dan intoleransi serta tindakan vigilante menggunakan sentimen keagamaan terhadap yang lain (liyan) dengan identitas keagamaan yang berbeda.
"Tindakan main hukum sendiri semacam itu mesti kita baca sebagai ancaman terhadap harmoni dan kedamaian sosial di tengah kebhinekaan Indonesia," ucap Halili.
Di samping itu, SETARA Institute sangat menyayangkan pernyataan otoritas pemerintahan negara di tingkat lokal.
"Pertama, statemen Sultan Hamengkubuwono X mengenai pembatalan acara karena disatroni ormas tersebut. Sultan menyatakan ketidaksetujuan terhadap bakti sosial yang mengatasnamakan gereja di tengah lingkungan warga muslim, sebab hal itu berpotensi memicu gesekan," ungkapnya.
"Kedua, pernyataan Kepala Polisi Resor Bantul DI Yogyakarta, AKBP Sahat M. Hasibuan. Kepada media, Kapolres mengatakan bahwa penolakan bakti sosial itu terjadi karena kurangnya komunikasi pihak Gereja dengan masyarakat".
Selanjutnya, Halili menilai pernyataan Gubernur dan Kapolres tersebut jelas-jelas problematik.
"Pertama, sikap dalam ekspresi verbal tersebut jelas menyalahkan pihak korban (blaming the victim). Ini sesungguhnya pola lama respons pemerintah dan aparat atas berbagai kasus intoleransi, diskriminasi, pelanggaran atas hak-hak minoritas keagamaan dimana pemerintah cenderung menjadikan korban sebagai objek blaming, scapegoating (pengkambinghitaman), bahkan kriminalisasi".
"Kedua, pernyataan kedua otoritas negara di tingkat lokal tersebut menunjukkan kuatnya favoritisme negara atas kelompok warga tertentu sekaligus penyingkiran (exclusion) kelompok lainnya. Aparat negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap hak-hak minoritas sebagai prasyarat tegaknya demokrasi (democracy requires minority rights)," jelas Halili.
Terakhir, SETARA mengapresiasi kuatnya perspektif dan standing position toleransi dan kebhinekaan yang ditunjukkan Bupati Bantul, Suharsono.
"Beliau memberikan pernyataan kuat bahwa "Semua agama yang diakui di Indonesia harus dihormati. Tidak bisa suatu ormas melarang kegiatan dari agama yang diakui sepanjang tidak melanggar aturan berlaku."
Matakatolik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar