Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com- K abar duka datang biara susteran tarekat Fransiskus Misionaris Maria (FMM) yang terletak Jalan Trans Mbay-Maumere. Biara y...
-
Matakatolik.com- Liturgi mengatur beberapa warna khusus untuk liturgi selama pekan suci. Adapun warna liturgi tersebut, yaitu: ...
-
Matakatolik.Com - Organisasi Katolik Vox Populi Institute Indonesia atau Vox Point Indonesia menyelenggarakan diskusi politik Seri 4 sec...
-
Matakatolik.com- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Flores Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), menjanjikan akan menyiapkan penginapan alternat...
-
Matakatolik.com -Yohanes Bayu Samudro dilantik menjadi Dirjen Bimas Katolik oleh Menteri Agama Fachrul Razi di Jakarta, Senin 10 Agustus 20...
-
Matakatolik.com - Oktober 2016 lalu, Vatikan mengeluarkan aturan baru yang melarang setiap umat Katolik menyimpan abu dari sisa pemb...
-
Matakatolik.Com – Cintaku kepada Katolik memuncak dalam misa pernikahan. “Pada saat itu, saya benar-benar jatuh cinta dengan Katolik,”...
-
Matakatolik.com -Umat katolik akan merayakan Hari Rabu Abu, 6 Maret 2019. Perayaan Rabu Abu merupakan rangkaian dan proses menuju hari ra...

SETARA: Puisi Sukmawati Bukan Penodaan Agama
Matakatolik.com - Ketua SETARA Institute, Hendardi menilai puisi Sukmawati yang memuat kata 'azan' dan 'cadar' bukan bentuk penodaan agama.
Ia mengatakan, puisi yang kini dipersoalkan oleh beberapa kelompok tersebut sama seperti pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Ahok dipenjara dua tahun karena pidatonya yang menyinggung Surat Al Maidah dianggap menista agama Islam.
"Niat jahat (means rea) dan konteks dimana Sukmawati menyampaikan puisi itu bisa saja menjadi argumen hukum bahwa puisi itu bukanlah bentuk penodaan agama melainkan bentuk kebebasan berekspresi dan berpendapat setiap warga," ungkapnya di Jakarta, Rabu (4/4/2018).
Sukmawati telah dilaporkan oleh beberapa kelompok orang ke kepolisian atas dugaan melanggar pasal penodaan agama.
Padahal, kata Hendardi, hanya karena rumusan delik penodaan agama yang absurd tolok ukurnya, maka pihak lain yang tidak sependapat kemudian mempersoalkannya dengan dalil penodaan agama.
"Meskipun dalam disiplin HAM tidak dikenal istilah penodaan agama," ujarnya.
Ia juga mengingatkan semua pihak bahwa due process of law tuduhan kasus-kasus penodaan agama, sebagaimana diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965 sebagai genus Pasal 156a KUHP, mesti dilakukan secara bertahap, dengan peringatan dan teguran.
"Pilihan pemidanaan adalah opsi terakhir yang bisa ditempuh setelah proses klarifikasi itu dilakukan dan peringatan diabaikan," katanya.
Padahal, kata Hendardi, kalau baca substansi puisi Sukmawati secara jernih sebenarnya tidak ada yang benar-benar bermasalah dari sisi SARA.
"Puisi Sukmawati yang sangat verbalis itu merupakan ekspresi seni yang memiliki derajat kebenaran faktual memadai, karena justifikasi faktualnya sebenarnya memang ada," ungkapnya.
Menurut dia, dalam situasi sosial yang terbelah, isu semacam ini bisa saja menjadi pemantik yang efektif untuk kembali membelah masyarakat.
"Apalagi di tengah kontestasi politik Pilkada 2018, Pileg dan Pilpres 2019. Politisasi dipastikan akan menguat," kata dia.
Namun, jelas Hendardi, agar tidak menguras energi publik dalam kontroversi ini, klarifikasi yang dilakukan keluarga Soekarno pada Selasa (3/4/2018) diharapkan bisa meredakan situasi, jika diperlukan Sukmawati juga bisa memberikan penjelasan.
Sementara, kata dia, pengaduan yang sudah disampaikan, secara prosedural biarkan polisi bekerja memproses laporan yang sudah masuk tanpa perlu tekanan yang sarat motif politiknya.
"Pelaporan Sukmawati juga mempertegas momentum bahwa kita harus segera mereformasi hukum penodaan agama dalam sistem hukum Indonesia. Sehingga ada batasan jelas ihwal penodaan agama yang selama ini sering mengkriminalisasi kebebasan ekspresi warga," pungkas dia.
Matakatolik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar