Headline News

Jokowi Tak Punya Kebutuhan Khusus Menambah Jumlah Koalisi


Matakatolik.com-Presiden Joko Widodo dinilai tak memiliki kebutuhan khusus menambah jumlah koalisi. Dengan dukungan 5 partai dan mayoritas 349 dari 575 kursi di parlemen, pasangan Maruf Amin itu dinilai punya dukungan legislatif yang kokoh untuk mengamankan kebijakan di periode lima tahun keduanya.

Hal itu disampaikan analis politik CSIS, Arya Fernandez, dalam diskusi bertajuk Menakar Komposisi Kabinet Kerja Jilid II di Pasar Baru, Jakarta Pusat, Sabtu (20/7/2019).

Selain Arya, diskusi yang digagas Vox Point Indonesia DPD DKI Jakarta itu menghadirkan politisi PDIP Ansy Lema, Faldo Maldini dari PAN, dan Wakil Ketua DPN Vox Point Indonesia Goris Lewoleba.

Arya menilai masuknya partai oposisi semakin menyulitkan Jokowi mengatur komposisi 35 anggota kabinetnya.

Dengan dukungan 10 partai saat ini - 5 partai tidak lolos ambang batas parlemen - ditambahkan dengan kalangan profesional dan relawan, mantan walikota Surakarta itu sesungguhnya menghadapi pekerjaan sulit mengatur komposisi kabinet idealnya.

Melayani permintaan 10 partai bukan pekerjaan mudah ditambah laporan bahwa Jokowi ingin mengisi kabinetnya dengan para profesional sehingga ia dapat memulai agenda reformasi yang ambisius selama masa jabatan keduanya.

Dua partai terbesar—PDI-P dan Golkar—akan menginginkan bagian mereka. Begitu juga PKB, yang secara efektif merupakan lengan politik dari organisasi massa Muslim Nahdlatul Ulama, yang dukungannya di Jawa Timur dan Tengah sangat penting bagi kemenangan Jokowi.

Arya percaya bahwa NU akan mencari lebih dari sekadar jabatan Menteri Agama, yang saat ini dipegang oleh PPP yang berbasis syariah, yang nyaris tidak memenuhi ambang batas suara 4 persen yang diperlukan untuk perwakilan parlemen.

Pengusaha media dan Pemimpin Partai Nasdem Surya Paloh, mengungguli harapan dan mungkin merasa telah mendapatkan lebih dari tiga kursi saat ini.

Berkompromi dengan itu semua tentu tidak mudah. Apalagi jika ditambah kebutuhan untuk mengakomodasi PAN dan Demokrat—dua ‘pengkhianat’ oposisi yang sangat potensial bergabung ke koalisi pemerintah, tutup Arya.

Dengan dua sekutu oposisi, Demokrat dan PAN, sepertinya mengalihkan dukungan, itu membuat Gerindra dan PKS menjadi oposisi dengan 128 kursi.

Tetapi pasca pertemuan Jokowi dan Prabowo 13 Juli lalu, kelihatannya PKS akan menjadi satu-satunya partai di kubu oposisi—bukan situasi yang bagus untuk negara demokrasi pemula seperti Indonesia, demikian ditegaskan Ansy Lema mengawali pemaparannya.

Politisi PDIP itu berharap koalisi oposisi tetap konsisten menjaga posisinya untuk menegakkan kehormatan demokrasi. Ini penting untuk menjaga checks and balances guna memastikan kualitas kebijakan pemerintah.

Ia meminta partai koalisi untuk tidak abu-abu dalam menentukan sikap politik. Baginya, kalah pemilu berarti siap berada di luar pemerintahan dan membangun kualitas oposisi yang kuat. Menang pemilu, sebaliknya, siap memimpin dan melaksanakan kebijakan yang sudah dikampanyekan.

Ia mencontohkan ketegasan sikap PDIP yang konsisten menjadi oposisi selama 10 tahun pemerintahan SBY. Baginya menjadi oposisi yang kuat justru sangat dibutuhkan oleh pemerintah dan masyarakat saat ini.

Faldo Maldini, jurubicara oposisi yang populer selama pemilu 2019, menegaskan hal yang sama. Meski ia belum bisa memastikan sikap resmi PAN sebelum rakornas partai itu di bulan Agustus.

Terlepas dari wacana tentang memperkuat demokrasi, Faldo mengakui, berada dalam oposisi tidak populer di Indonesia yang menjunjung musyawarah, di mana kebanyakan orang memiliki persepsi negatif terhadap partai-partai oposisi.

Masyarakat cenderung melihat mereka sebagai pembuat masalah yang berniat membuat kerusakan dan menciptakan ketidakstabilan, katanya.

Ia menilai, partai-partai di Indonesia mempertahankan posisi dengan menjaga hubungan baik dengan pemerintah ketimbang konstituen. Suatu tradisi politik yang sebenarnya tidak sehat, tambahnya.

Secara teoretis, paling tidak, lebih banyak teknokrat di kabinet akan memungkinkan Jokowi untuk mengubah arah dan mencapai keseimbangan yang lebih baik antara kebijakan nasionalisnya dan kebutuhan akan investasi asing yang lebih banyak, jika Indonesia ingin tumbuh lebih dari 5 persen selama lima tahun ke depan.

Karena itu, Goris Lewoleba berharap Jokowi lebih independen dan tanpa beban dalam menentukan calon-calon yang akan mengisi kursi menteri.

Saat ini, lanjut dia, Jokowi dinilai memiliki modal sosial politik yang memadai dengan didukung partai politik, sukarelawan, dan memiliki jangkar yang kuat selama 5 tahun dalam memimpin negeri ini.

Hal itu juga sesuai dengan hak istimewa yang dimiliki seorang presiden, yakni hak prerogatif di tengah partai politik yang menjadi pendukung Koalisi Indonesia Kerja.

Ia mendorong Jokowi untuk memilih menteri yang memiliki kapasitas dan kompetensi untuk mempercepat pembangunan.

Menentukan posisi menteri di kabinet memang tidak mudah, kata Goris. Mereka harus bersih, berintegritas, dipilih secara cermat dan bisa dikendalikan, tentunya oleh presiden selaku atasan.

Jangan sampai, pembantu presiden tersebut justru lebih banyak menjadi petugas partai, lebih patuh dengan ketua umum partainya, atau bahkan menjadi "benalu" dalam pemerintahan Jokowi-Ma’ruf.

Ia mengarapkan kabinet jilid II lebih banyak diisi menteri dari kalangan profesional murni. Bukan dari kalangan profesional partai yang masih memiliki hubungan sosiologis informal.

Matakatolik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Copyright © 2018 MATA KATOLIK Designed by Templateism.com and Supported by PANDE

Diberdayakan oleh Blogger.
Published by Sahabat KRISTIANI