Matakatolik.com – Umat Santo Laurensius Agung menggelar perayaan misa inkulturasi yang dikemas menurut budaya Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) di Gereja Katolik, Minggu (11/8/2019) di komples Alam Sumatera, Serpong Utara, Tangerang Selatan. Perayaan inkulturasi digelar untuk menyukuri Negara Indonesia sebagai sebuah negeri sangat indah, yang dianugerahi oleh Tuhan aneka kekayaan budaya. Bahwa dalam semangat Pancasila yang mengutamakan kebhinekaan, kekayaan budaya justru menjadi perekat bangsa.
“Adapun kegiatan ini merupakan perwujudan rasa syukur kami atas Negara kita Indonesia, negeri yang sangat indah dan kaya akan budaya. Kekayaan alam dan budaya di Indonesia merupakan mukjizat Tuhan yang senantiasa harus disyukuri,” papar Ketua Panitia Misa Inkulturasi NTT Grace Njo, Minggu (11/10/2019) malam.
Perayaan inkulturasi ini menampilkan kekayaan-kekayaan budaya dari berbagai daerah di NTT, yang ditampilkan sepanjang kegiatan. Misalnya, tarian Hedung dari suku Adonara, Flores Timur NTT digunakan untuk mengarak tujuh pastor konselebran dari ruang sakristisi menuju pintu Gereja. Selanjutnya, ritual penyambutan dari suku Manggarai, Flores (NTT) dalam bentuk ucapan selamat datang dan sapaan adat yang disebut Kepok dan atau Torok menyambut para pastor di depan pintu gereja.
Seorang pembawa bendera merah putih memimpin perarakan mulai dari awal. Setelah para pastor berada di altar, seluruh umat yang hadir dalam perayaan berdiri untuk menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Umat sangat antusias bernyanyi diiring musik bernada riang gembira.
Perayaan inkulturasi dimeriahkan oleh paduan suara gabungan masyarakat NTT yang berada di wilayah Paroki Laurentius Agung. Dibalut pakaian adat. mereka menyanyikan lagu-lagu berbahasa Indonesia bernuansa lokalitas berbagai daerah NTT, dengan iringan musik sasando, tetabuhan, gitar, dan organ yang diaransemen Wilson “Ichon” Watu. Yang tak kalah menarik adalah umat yang hadir juga mengenakan pakaian adat: pakaian adat Sumba, Rote, Manggarai, Timor, Sabu, Ende, Maumere, dan lain-lain.
Gereja Katolik Indonesia
Bertindak sebagai pastor pemimpin perayaan saat itu Pastor Paroki Laurentius RD Yohanes Hadi Suryono, Pr. Dalam kotbahnya, Pastor Hadi menekankan bahwa Gereja Katolik adalah Gereja yang universal. Umat Katolik yang serentak menjadi Warga Negara Indonesia harus menunjukkan universalitas tersebut.
“Wajah Gereja Katolik yang hadir di bumi Indonesia hendaknya menjadi “Gereja Katolik Indonesia” dan bukan “Gereja Katolik di Indonesia”. Artinya, kekayaan berbagai budaya yang ada di Indonesia menjadi Jiwa Gereja Katolik dalam menghidupi karya keselamatan Allah di bumi Indonesia ini,” ujar Pastor Hadi.
Menurut Pastor Hadi, kebhinekaan Indonesia layak disyukuri dan dipelihara. Pastor Hadi secara personal mengisahkan perjalanan hidup panggilan membiara sebagai Pastor, di mana ia menjumpai keragaman budaya umat yang dilayaninya. Ia menjumpai tradisi Tionghoa, Jawa, Batak, NTT yang memiliki kekayaan budaya seperti musik, bahasa, adat, kuliner lokal, dan lain-lain.
“Sesuai spirit aggiarnamento—Gereja terbuka terhadap perkembangan zaman, Gereja Katolik Indonesia harus berakar pada budaya dengan memberikan tempat pada muatan-muatan lokal atau kearifan lokal dalam perayaan-perayaan iman Katolik, sambil tetap menjaga prinsip-prinsip ajaran Gereja. Pada kesempatan ini, saudara-saudari kita dari NTT mendapatkan kesempatan pertama di Paroki ini untuk mengadakan Ekaristi bernuansa NTT,” tambahnya.
Pada kesempatan itu, Pastor Hadi juga berpesan kepada umat untuk mengamalkan Pancasila dalam perbuatan, sesuai arah dasar Keuskupan Agung Jakarta. Pancasila dapat diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan menjunjung tinggi semangat kebhinekaan dan toleransi.
“Pancasila bagi Gereja Katolik adalah final. Paroki Alam Sutera yang terinspirasi dari Ajakan Pastoral Bapak Uskup Agung Jakarta, Mgr. Ignatius Suharyo, Pr tentang AMALKAN PANCASILA, ingin terus mencintai, menghidupi dan berkarya untuk ambil bagian membangun negeri tercinta ini bersama sama dengan segenap komponen bangsa yang berkehendak baik, untuk memelihara kekayaan budaya nusantara yang luar biasa ini,” kata Pastor Hadi.
Wajah Bhineka NTT
Grace Nio dalam sambutannya menceritakan kebhinekaan provinsi NTT. Sebagai provinsi kepulauan dengan gugusan pulau sebanyak 1.192, NTT memiliki 68 bahasa daerah, puluhan suku, keragaman agama, dan lain-lain. Tidak heran jika NTT memiliki kekayaan budaya yang tidak semuanya dapat diikutsertakan dalam perayaan misa inkulturasi ini.
“NTT adalah sebuah provinsi yang kaya budaya. Menyaksikan NTT, menyaksikan Indonesia yang bhineka. Maka dalam perayaan ini kami hanya mengambil perwakilan kecil dari aneka budaya di NTT. Namun kami berharap semoga apa yang kami tampilkan di sini dapat mengajak kita semua untuk mencintai sekaligus merayakan Indonesia. Kita tetap mendukung Pancasila yang menjadi perekat bangsa,” ajak Grace.
Seusai misa inkulturasi, seluruh umat yang hadir diundang menghadiri acara ramah tamah dan gembira bersama khas NTT di halaman depan Paroki. Panitia meyediakan group musik yang piawai menyanyikan lagu-lagu khas NTT, menarikan tarian-tarian populer dari NTT seperti Ja’i, Gawi, Rokatenda, TB, Goyang Maumere, dan lain-lain.
Panitia juga meyediakan stan yang berisi kuliner lokal khas NTT, tenun adat, dan benda-benda rohani khas NTT agar bisa dinikmati pengunjung.
Wakil Ketua Panitia Misa Inkulturasi Edigius Anin menjelaskan bahwa panitia misa inkulturasi NTT terdiri dari berbagai masyakat gabungan NTT yang berada di Paroki Alam Sutera.
Atas terselenggaranya kegiatan ini dengan baik, Panitia mengucapkan terima kasih kepada Pastor Paroki, DPP Paroki, para donator, seluruh umat Paroki Laurentius, dan umat dari paroki lain yang turut menyaksikan perayaan Inkulturasi untuk merayakan indahnya Indonesia.
Matakatolik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar