Mata Katolik
Popular Readers
-
Matakatolik.com -Sejumlah tokoh nasional yang menggeluti bidang agama dan perdamaian hadiri acara Forum Titik Temu, di Ritz Carlton Hotel...
-
Matakatolik.com -Untuk Abdul Somad: Saya Tak Butuh Ucapan Selamatmu, Dan Jangan Urusi Iman Agamaku Saya tak pernah mengurusi keyakinan...
-
M ATAKATOLIK, Jakarta - Yohanes Handojo Budhisedjati ditunjuk sebagai Ketua Umum Forum Masyarakat Indonesia Emas (FORMAS). Handojo diper...
-
MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Paus Fransiskus, yang memiliki nama lahir Jorge Mario Bergoglio adalah pemimpin Gereja Katolik Roma saat ini. D...
-
Matakatolik.Com - Kementerian Komunikasi dan Informatika akan memulai penataan ulang ( refarming ) Pita Frekuensi Radio 2,3 GHz di 9 klast...
-
Jakarta, MATAKATOLIK.COM - Menteri Investasi Indonesia, Bahlil Lahadalia dikabarkan akan maju sebagai calon Ketua Umum Partai Golkar dala...
-
Matakatolik.com -Paus Fransiskus dijadwalkan akan memimpin Misa di Istora Gelora Bung Karno (GBK) pada 2 September 2020 mendatang. Pemim...
-
Ketua Umum Vox Point Indonesia, Yohanes Handojo Budhisedjati MATAKATOLIK.COM, Jakarta - Ormas Katolik Vox Point Indonesia ikut mendukung re...
Solusi Untuk Anda!
Revisi UU KPK, Momentum Pimpinan KPK Baru Evaluasi Perjalanan KPK
Matakatolik.com-Revisi terhadap UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK telah usai dengan diundangkannya UU No. 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, pada tanggal 17 Oktober 2019. Artinya UU KPK telah mengalami dua kali revisi setelah berjalan selama 17 tahun, karena itu revisi UU KPK kali ini harus dijadikan momentum bagi FIRLI DKK. untuk membuat KPK tampil lebih digdaya dan taat asas.
Keinginan agar KPK tampil lebih didgdaya dan taat asas, dimaksudkan agar KPK rezim FIRLI DKK mampu mengefektifkan dan mengefisienkan tugas Pemberantasan Korupsi di Kepolisian dan Kejaksaan yang selama 15 (lima belas) tahun usia KPK gagal diwujudkan. Padahal UU KPK memberikan KPK dengan 5 (lima) tugas dan kewenangan besar yaitu : Koordinasi; Supervisi; Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan; Pencegahan Tindak Pidana Korupsi; dan Monitor, namun gagal diimplementasikan.
Dari 5 (lima) tugas besar ini, yang menonjol dilaksanakan adalah hanya bidang penindakan ("Penyelidikan, Penyidikan dan Penuntutan"), sedangkan 4 (empat) bidang tugas lainnya nyaris tak terdengar. Tugas penyelidikan, penyidikan dan penuntutan itu-pun gagal dilaksanakan, karena banyak kasus besar mangkrak (tidak tuntas) diselesaikan oleh KPK (BLBI, Bank Century, E-KTP dll), belum lagi kasus-kasus besar yang mangkrak di Kepolisian dan Kejaksaan yang juga menjadi wewenang KPK untuk mengambilalih tetapi kenyataannya tidak pernah dilakukan.
Dengan demikian kegagalan Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi selama 15 tahun perjalanan KPK tidak semata-mata karena ada titik lemah pada UU KPK, tetapi juga pada persoalan kapasitas pimpinan KPK, yang mudah diintervensi. Pimpinan KPK akhirnya melakukan praktek tebang pilih, dan memilih jalan pintas melakukan penindakan dengan cara OTT, karena OTT tidak mudah diintervensi dan mendapat publikasi luas, tetapi OTT juga bisa diorder untuk target-target terntu.
KPK gagal melaksanakan tugasnya, karena tidak semua tugas, wewenang dan kekuasaan besar (superbody), yang diberikan oleh UU, diimplementasikan. Contoh, kewenangan (koordinasi dan supervisi) yang memungkinkan KPK mengambilalih penyidikan atau penuntutan dari Polri atau Kejaksaan, namun KPK tidak pernah lakukan itu, juga KPK tidak pernah menghasilkan konsep tentang sistim pemberantasan korupsi yang lebih baik, sesuai tugasnya dibidang monitor (pasal 9 UU KPK).
Padahal berdasarkan ketentuan pasal 14 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, Tugas Monitor, yaitu melakukan pengkajian terhadap sistem pengelolaan adminisrasi di semua lembaga negara dan pemerintahan dan memberi saran untuk melakukan perubahan sistem jika sistem yang ada berpotensi korupsi, namun fungsi inipun tak terdengar.
KPK justru terjebak dalam tindakan--tindakan konvensional yang sama yang selama ini terjadi atau dikhawatirkan terjadi pada Polri dan Kejaksaan, sehingga KPK kehilangan soperbody-nya, menjadi loyo dan gagal mengeksekusi kekuasaan yang digdaya itu.
KPK Pasca Revisi UU KPK Akan Tampil Beda
Pasca revisi UU KPK, penampilan KPK tentu berbeda karena adanya organ baru yaitu DEWAN PENGAWAS (DEWAS) dengan kekuasaan mengawasi dan ikut menentukan proses penindakan di KPK. Juga adanya kewenangan SP3, posisi KPK berada pada rumpun kekuasaan eksekutif, Pegawai KPK adalah ASN, serta adanya tambahan asas dimana pada setiap tindakan KPK harus tetap menjunjung tinggi HAM disamping asas-asas lainnya.
Munculnya organ baru dengan status hukum baru dimana KPK menjadi lembga yang berada di bawah rumpun kekuasaan eksekutif, hal tersebut berimplikasi kepada hilangnya organ PENASEHAT KPK dan PEGAWAI KPK NON ASN. Perubahan struktur dan status hukum KPK ini diharapkan agar kedigdayaan KPK terus bertambah, akan tetapi berjalan dengan tetap menjunjung tinggi HAM dan asas-asas lainnya.
Dengan perubahan itu, mestinya pada tanggal 17 Oktober 2019, kemarin KPK langsung mengumumkan siapa saja Pegawai KPK yang tidak lagi memenuhi syarat bersamaan dengan dihilangkannya Penasehat KPK. Namun Ini tidak pernah diumumkan termasuk Penyidik KPK yang kehilangan status dan wewenang sebagai akibat berlakunya UU KPK No. 19 Tahun 2019 ini. Beberapa Penyidik yang serta merta kehilangan legal standing untuk menjadi Penyidik tetapi diduga masih diberi peran menyidik. Ini melanggar ketentuan pasal 70C UU KPK Revisi.
Oleh karena itu FIRLI dkk. bersama DEWAS KPK nantinya harus mejernihkan persoalan ini, karena menyangkut hasil penyidikan yang kelak akan diuji dalam persidangan, atau jika perlu kinerja Agus Rahardjo dkk. dilakukan Audit Forensik, guna memastikan seberapa banyak dan besar penyimpangan terjadi dan siapa saja korbannya.
Kita hanya bisa memastikan terjadinya penyimpangan melalui lahirnya revisi UU KPK, tetap kita belum bisa memastikan berapa besar dan banyaknya penyimpangan dan siapa saja yang telah jadi korban pelaksanaan tugas pimpinan KPK yang menyimpang selama rezim Agus Rahardjo dkk.
Perlunya DEWAS bagi KPK, membuktikan bahwa selama 17 (tujuh belas) tahun berjalannya UU KPK, KPK nyaris berjalan tanpa kontrol memadai dengan independensinya itu, sehingga potensi dan/atau praktek penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan KPK cukup dirasakan oleh masyarakat khsusnya Penyelenggara Negara yang sering jadi target tebang pilih dalam penindakan di KPK.
Banyak sudah keluhan Penyelenggara Negara dan Masyarakat soal praktek tebang pilih dalam penindakan oleh KPK, praktek kesewenang-wenangan KPK dalam menjerat pelaku atau pelaku lain dengan menciptakan posisi offside bagi pihak-pihak tertentu, bahkan kesewenang-wenangan melepaskan pelaku lain dengan cara hanya menjadiknnya saksi (tidak diikutsertakan sebagai pelaku turut serta), khabar soal tawar menawar penerapan pasal-pasal mana yang mau digunakan terhadap pelaku tertentu, sudah kita dengarkan jeritan mantan Napi KPK, namun belum pernah dilakukan Audit Forensik. Inilah yang harus dilakukan oleh FIRLI dkk. dalam 100 hari pertama menjalankan tugasnya.
Dengan kekuasaan dan kewenangan yang nyaris tanpa kontrol dan berlindung di balik mahkota NDEPENDENSI, maka banyak pihak yang terkait kasus korupsi sering diintimidasi oleh KPK, termasuk mengintimidasi saksi-saksi dengan narasi yang menyeramkan untuk diekspose ke media. Padahal UU mewajibkan KPK untuk melindungi Saksi, karena Saksi memiliki peran besar dan menentukan dalam mengungkap sebuah kejahatan korupsi.
Dengan adanya DEWAS, KPK diharapakn berjalan secara normal dengan tetap menjunjung tinggi asas-asas sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 UU KPK revisi yaitu Kepastian Hukum, Keterbukaan, Akuntabilitas, Kepentingan Umum, Proporsional, dan "PENGHORMATAN TERHADAP HAM", sehingga kekhawatiran banyak pihak bahwa KPK akan sewenang-wenang, arogant dll. bisa diminimalisir.
Perilaku Pimpinan KPK dan Pegawai KPK akan diawasi dan ditindak oleh DEWAS, peran partisipasi publik berupa memberikan laporan atau melaporkan Pimpinan KPK dan Pegawai KPK kepada DEWAS, manakala terjadi malpraktek atau perilaku menyimpang, sudah terbuka lebar, apalagi KPK juga wajib membuka diri terhadap pelaksanaan fungsi DEWAS ini.
Kita ingin segera melihat warna baru KPK dengan tambahan kewenangan, kekuasaan untuk menunjang pelaksanaan 5 (lima) tugas besar KPK yang selama ini stagnan dan diabaikan, namun tidak dapat dilihat oleh mata masyarakat awam, karena dibungkus dengan selimut OTT, sehingga membuat masyrakat awam menilai KPK sukses besar dengan UU yang ada dan menolak revisi UU KPK.
Revisi UU KPK juastru memberi tambahan wewenang kepada KPK agar pencari keadilan dan semua pihak yang terkait dengan KPK tidak dizolimi, KPK akan dengan leluasa melakukan tugas koordinasi, monitor, supervisi, pencegahan dan penindakan, sebagai langkah awal mengefisienkan dan mengefektifkan tugas dan wewenang Polri dan Kejaksaan di bidang Pemberantasan Korupsi yang masih stagnan.
Petrus Selestinus (Advokat dan Mantan Komisioner KPKPN)
Matakatolik
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar